Selasa, 26 Oktober 2010

Jakarta dan bung Foke

Ini orang-orang pada ribut apa sih kemaren sore?

Macet? Banjir? Trus ujung-ujungnya Foke?

Capek deh gw dengerin orang sibuk nyalahin si Foke. Ya gw sih bukan pendukungnya si bapak yang satu itu (fyi, gw coblos Adang waktu itu karena gw percaya orang baru yang kelihatannya bersih dan fair itu lebih baik), tapi menurut gw, apa yang terjadi pada Jakarta akhir-akhir ini adalah akumulasi dari Jakarta yang kemarin-kemarin. Dan Foke kebagian apesnya aja lagi menjabat jadi orang nomor satunya Jakarta.

Sekarang coba deh, mau protes apa orang-orang? Banjir? Itu banjir kanal awal-awal dibuat, banyak orang menghujat. "Mau dibikin apa sih nih?" "Nggak jelas, kurang kerjaan, nyari penyakit." Ditambah lagi pembebasan tanah yang berbelit-belit. Pas setengah jadi, orang-orang ngedumel "Banjir kanal bikin air tambah menggenang." pas udah jadi kayak sekarang mulai dikumuhin. Buang sampah maen asal cemplung aja. Trus apa selanjutnya? Mau bikin rumah lagi di pinggiran situ biar nasib banjir kanal kayak kali ciliwung?

Liat juga tuh cliliwung. Katanya nggak mau banjir, masihhhhh aja anggep tu kali jadi tempat sampah. Masihhhhhh aja bermukim disana, kalo diusir marah-marah dan menyalahkan pemerintah. Kalo nggak punya rumah yang tetap ngapain dateng ke Jakarta bung? Mau kerja dimana, di pinggiran jalan menengadahkan tangan minta dikasihani?

Itu satu.

Dua, macet. Ok, untuk kali ini gw merasa pantas menyalahkan mereka-mereka itu. Heyyyy...apa pajak yang dipotong dari gaji gw tiap bulan kurang buat bangun fasilitas publik yang nyaman? Gw nggak minta yang muluk-muluk. Gw cuma minta itu sistem transportasi diubah jadi sistem gaji kayak busway. Kenapa? Coba pikir, berikut ini efeknya udah kayak lingkeran setan. Salah satu penyebab kemacetan Jakarta adalah angkutan-angkutan umum yang berhenti sembarangan mencari penumpang. Gw nggak bisa sepenuhnya menyalahkan mereka karena tindakan mereka yang seperti itu beralasan. Mereka butuh uang buat diri mereka sendiri, dan buat setoran harian. Maka dari itu, coba ubah sistemnya. Cukup sudah tender-tender trayek angkutan umum selama ini. Jarak dekat, angkutan banyak, penumpang nggak ada, yang ada angkutan-angkutan umum itu main berhenti di tengah jalan dengan alasan menunggu penumpang yang sedang berjalan lenggang kangkung. Gaji supir-supir angkutan umum itu setelah didata dengan rapih pastinya. Buat halte-halte yang pasti dan convenient. Ingat, sistem gaji ini yang paling penting karena halte-halte itu bakal percuma dibangun kalo sistemnya masih setoran harian, angkutan-angkutan itu akan tetap berhenti sembarangan. Kita memang tetap perlu polisi tapi mereka kemungkinan tidak perlu bekerja seekstra keras seperti apa yang mereka lakukan sekarang kan.

Selain itu, buat trotoar-trotoar dan jalan apapun itu yang diperuntukkan untuk pejalan kaki, nyaman. Peduli setan sama berapa banyak uang yang di berikan kontraktor-kontraktor itu sebagai nilai toleransi karena mereka sudah merusak trotoar di depan proyek mereka, coba bersikap lebih tegas. Memang harga diri lo cuma sebesar ratusan juta yang mereka berikan buat tutup mulut lo? Cuman segitu? Setelah semua pengorbanan yg lo lakuin buat dapet gelar sarjana? Enggak kan. Kalo enggak ya udah, buat peraturan yang tegas dan mengikat, dan terapkan.

Pernah dong ke UI di Depok sana? Bis Kuning itu berenti cuma di halte-halte yang ada aja. Tertib. Pernah dong ke Singapur? Liat nggak trotoarnya yang nggak pernah putus? Jadi kalo soal macet ini menurut gw penyebab utamanya adalah ketidaklayakan transportasi publik. Karena transportasi publik nggak nyaman, orang-orang memutuskan untuk membeli kendaraan bermotor sendiri. Jalanan semakin jelek dan segitu-gitu aja, kendaraan semakin banyak, angkutan umum semakin brutal, hujan tidak menentu disertai banjir. Jadilah Jakarta kayak kemaren. Chaos.

Tapi gw bingung, orang-orang pada nggak capek apa ya nyalahin orang lain. Serius, gw nggak bermaksud membela bapak Foke yang satu itu, tapi coba deh mikir ke diri sendiri dulu. Have I already did the right thing ?Kalo kata Aa Gym, dimulai dari diri sendiri. Contoh, pernah liat ada sampah keluar dari mobil bagus meni mengkilat cling? Kadang-kadang suka bingung, kirain yang punya mobil-mobil bagus gitu kan biasanya orang-orang yang well educated yang udah tau kalo JALANAN ITU BUKAN TEMPAT SAMPAH. Tapi mereka terus menerus protes akan banjir dan macet. Heyyyyy??? Kamu sendiri kan salah satu penyebab hal yang sibuk kamu protes dan keluhkan ituuuu.


Udah, udah.


Kalo kata gw, ada baiknya mule sekarang kita melakukan sesuatu. Apa? Ya itu tadi, bertingkah selayaknya orang-orang well educated. Buang sampah pada tempatnya, tertib lalu lintas dan lain-lain. Nggak bermaksud menyebutkan mengurangi menggunakan kendaraan pribadi ya, cuma kalo bisa ya kenapa enggak. Tapi gw tau, itu agak susah. Tinggal tunggu aja bapak-bapak yang pinter nata kota dan in charge dalam menata Jakarta ini bisa nggak menyelesaikan masalah yang sangat penting ini, jauh lebih penting daripada komentarin kasus Luna Maya sama Ariel *lagi-lagi*.

But again, stop complaining and start to do something.

Cheers






Rabu, 15 September 2010

Artis ibukota dan kembang desa


Sunday, September 12nd 2010

Just helped my grandma cooking this morning.

Petik-petikin daun pakis gitu buat bikin sayur daun pakis. Kata tante, petikin daun-daun dan batang mudanya. Gw, pegang tiap batang pakis itu dengan raut muka jijay dan metik-metikiin satu-satu daunnya. Dan tanpa di duga tanpa di nyana, adalah seekor ulat cukup gede berwarna merah di antara daun-daun itu. Aw...gw spontan melempar batang pakis itu dengan tampang shock. Damn it, it was so damn scary. Tapi yang bikin gw lebih shock lagi, si tante gw itu dengan santainya pegang batang pakis yang lain sambil metikin semua daunnya secara massal tanpa takut-takut ada ulet dan kawan-kawannya.

Dan gw tertegun.

Sumprit, dudukin gw didepan komputer dengan sederet angka-angka yang harus gw susun ataupun analisis, oh I’ll enjoy that kind of things. Tapi dudukin gw di dapur petik-petikin daun pakis gitu dengan resiko tangan gw kepegang ulet??? That was a nightmare.

Dari kisah ini gw mulai mencari kesimpulan. Suatu saat gw sangat berapi-api manas-manasin sodara-sodara gw untuk datang ke Jakarta dan menjadi seseorang di kota. “Heyyy...come to Jakarta first, and your mind will be open wide.” Idup lo nggak bakal berakhir menjadi seorang ibu rumah tanga saja yang menghabiskan hampir seluruh waktunya untuk mengurus anak-anak,rumah, dan menunggu suami pulang dannn...menengadahkan tangan setiap bulannya menerima sebagian uang dari penghasilan suami. Ya lo memang wanita, tapi wanita juga berhak mendapatkan penghasilan sendiri, membagi waktu antara mengurus anak, rumah, suami, dan mengurus karirnya sendiri.

Trus sekarang gw kayak yang...ok...masing-masing orang punya pilihan hidupnya masing-masing.

Mungkin gw, disini, yang lahir di kota cukup besar bernama Jakarta dan dibesarkan disini sampai sekarang berpikir bahwa menjadi wanita dengan karir yang cukup bagus, materi yang mudah-mudahan berlimpah, dan keluarga yang baik merupakan impian gw seumur idup gw.

Tapi ada disatu sisi lain dunia ini, wanita-wanita yang berpikir bahwa staying at home all day dan menghabiskan waktu sepenuhnya untuk mengurus rumah dan keluarga merupakan impiannya.

Nggak ada yang salah dari kedua mimpi itu. Itu cuma pilihan hidup seseorang yang dipengaruhi oleh cara mereka dibesarkan dan cara pandang orang tua dan lingkungan mereka yang akhirnya mempengaruhi impian mereka masing-masing.

Gw disini sebagai wanita kota aka artis ibukota dalam artikel ini sadar bahwa gw nggak berhak menjustifikasi para wanita koneventional aka kembang desa merupakan kumpulan wanita powerless yang super lemah dan tidak bisa memperjuangkan hak mereka sendiri. Its just the matter of opinion, again I told you.

Satu yang masih gw yakinin, bahwa wanita ternyata memang kuat. No matter mereka artis ibukota atau kembang desa, tetap aja, mereka harus survive dengan seluruh keterbatasan yang mereka miliki.

So here I am, proudly tell you guys, that I think I’m getting wiser than before. Thanks God akan aktivitas pulang kampung gw ini. Hihii

Open-houser, open your mind!

Saturday, September 11st 2010

Baru aja nonton berita di tipi nih. Denger-denger ada yang mati gara-gara ngantri ikutan open house yg di adakan salah satu orang penting di negeri ini. Ya sedikit berbeda dengan yang biasa-biasanya, mati gara-gara bagi duit cash. Tapi apa bedanya sih secara semua orang juga tau open house means getting something from the owner of the house we visited.

Intinya sih, gw NGGAK PERNAH SETUJU SAMA YANG NAMANYA BAGI BAGI DUIT. Bantuan langsung tunai? Hahahahahahahaha...boleh gw panjangin nggak haha nya gw ini sampe akhir tulisan ini. I know thats silly, as silly as bantuan langsung tunai toh?

Gw cinta negeri ini, gw sungguh peduli dan prihatin sama mereka-mereka yang setiap hari pusing harus makan apa hari itu. Tapi menurut gw, bantuan langsung tunai bukanlah solusi dari semua ini. Kasarnya, sekarang gw kasih mereka duit buat makan. Trus abis deh buat makan hari ini. Besok gimana? Besok mereka akan kembali pusing mikirin kudu makan apa atau bahkan mereka akan balik lagi ke gw minta duit lagi. Trus gw dapet duit gw itu darimana? Dari kerja. dari peres otak, dari ngegunain skill gw. Trus mreka dapet duit mreka darimana? Dari ongkang-ongkang kaki dan dateng ke gw.

Kurang silly apalagi itu coba.

Mari kita berpikir lebih tenang, lebih dari sekedar mendapatkan suara menjelang pemilu. Gimana kalau kita:

Buka Lapangan Pekerjaan

Mereka dapet duit dari sesuatu yang mereka usahakan. Contoh simple, salah satu temen gw si bule Inggris yang baru saja menetap di Indonesia selama sekitar 8 bulan ngomong-ngomong tentang proyek banjir kanal timur dan barat di Jakarta. Dia bilang dia liat kali itu udah mulai kotor, udah mulai kumuh. Sayang banget. Gimana kalau pemerintah coba untuk mempekerjakan orang sekitar situ untuk membersihkan kali itu dan sekitarnya secara rutin. Kali bersih, warga dapet kerjaan. Kali bersih, warga dapet makan. Case close. Dan gw pikir, ide bagus. Kenapa enggak? Kenapa enggak bapak-bapak ibu-ibu???

Pembinaan skill dan pendidikan

Gimana kalau kita kasih mereka modal.Kursusin mereka jahit, kursusin mereka masak, kirim anak-anak mereka sekolah, galang orang tua asuh. Coba kita liat efeknya nanti. Mereka bisa jait, mereka bisa buka usaha vermak levis. Mereka bisa masak, mereka bisa kerja di resto-resto dan kalo udah ada modal, mereka bisa buka warung makan sendiri. Mereka sekolah, mereka bisa kerja di perusahaan orang. Mereka dapet orangtua asuh, kuliah sampai keluar negri, mereka bisa jadi orang ebsar di perusahaan besar atau bahkan bisa buka perusahaan sendiri, dapet penghasilan yang besar dan mereka bisa bntu orang lain juga.

See?

Memberikan uang cash ataupun makanan atau apapun itu yang instan tapi sifatnya untuk jangka pendek, sungguh tidak mendidik. Itu memanjakan mereka. Memperlakukan orang dewasa berumur 30 tahun layaknya anak kecil berumur 10 tahun. Mereka sudah bisa mencari makan untuk mereka sendiri, tapi kita terus menyuapi mereka sampai akhirnya mereka percaya bahwa mereka sudah kehilangan kemampuan mereka untuk mencari makan sendiri.

Zona nyaman itu sungguh berbahaya, teman. Dan jika seperti ini terus keadaannya, mereka tidak akan sadar bahwa mereka sudah terlalu lama berada dalam zona nyaman. Kemampuan mereka berburu akan mati dengan sendirinya. Gigi mereka untuk menggigit perlahan akan tumpul. Ujungnya? Sampah masyarakat. Efeknya liat kan? Secara nggak langsung kita malah memperburuk situasi.

Huff.

Jadi kejadian korban saat event-event kayak open house ataupun bagi-bagi duit ini disiarkan lewat televisi internasional juga. Orang-orang luar, orang-orang negara maju sana melihat Indonesia. Wow. Mereka pikir, sebegitu parahnya negeri kita sampai harus mengorbankan nyawa untuk beberapa lembar uang atau beberapa box makanan. Mereka belum liat aja mal-mal yang ada di Jakarta. Megahnya lebih megah dari sekolahan negeri. Ironic.

Mari-mari, kita mulai membagikan bibit apelnya, ajari mereka cara menanam pohon apel, dan ajari mereka cara memelihara pohon itu hingga berbuah sampai mereka bisa menikmati buah apel hasil kerja keras mereka sendiri. Jangan terlalu seringlah memetikkan buah apel dari pohon apel yang sudah kita tanam sendiri. Berhentilah menjadi egois, mulailah berbagi ilmu untuk menjadikan mereka sama hebatnya seperti kita.

Cheers

Old School Existence

Saturday, September 11st 2010

Heyya.

Gw disini, di kampung kecil emak gw, mencoba menghibur diri dengan membuat beberapa tulisan. Gw baru aja ngobrol-ngobrol dikit sama sepupu gw yang masih duduk dibangku SMP. Dia cerita tentang gimana di sekolahnya ada geng cheerleaders yg terdiri dari cewek-cewek super eksis dengan contact lens berwarna warni dan gadget macam BB yang akhir-akhir ini dijadikan indikator oleh beberapa anak muda sebagai tanda bahwa mereka eksis di dunia pergaulannya.

Trus gw cuma tersenyum dikulum.

Jadi inget jaman dulu. Kalo mau ditanya di sekolah manapun, pasti ada tuh yang namanya geng cheers yang isinya cewek-cewek yang dibilang gaul gitu deh.Hihi. Everyguy dreamt about being their boyfriend. Biasanya kalo yang gini, ada pasangan versi cowoknya. Cowok-cowok bermobil ceper yang tantang tenteng rokok dengan baju sok-sok berantakan.

Huaaahhhh...

Well, I miss that moment.

Gw sih waktu itu cuma seorang cewek nerd yang bisa memandangi mereka dari jauh. Nyirikin geng-geng cewek dan lebih kacaunya lagi, gw kebiasaan demen ama salah satu anggota gengg cowoknya dimana...nggak mungkin banget si cowok itu demen gw balik. Hihi.

As the time passes by, gw beranjak dewasa dan sibuk sama kegiatan gw sendiri. Gw sibuk sama semua mimpi-mimpi gw dan planning-planning jangka pendek maupun jangka panjang gw. Gw bertemu dengan banyak orang, suka sama banyak orang, dan itu nggak melulu karena mereka di cap gaul atau karena sekedar mereka bawa mobil sedan super ceper yang bahkan kalo ngelindes bakiak depan mesjid bisa nyangkut bempernya.

Sampe akhirnya gw ketemu si cewek cowok super eksis di jamannya itu lagi.

All I could say to them was just “Hi.”

Mereka berubah, jadi biasa biasa aja di mata gw. Mungkin gw juga berubah, jadi jauh lebih keren di mata mereka.*LOL* The most important thing was I just dont care who they are. Gw happy sama diri gw, gw happy sama idup gw, dan mungkin mereka happy juga sama idup mereka...ya udah.

Kita semua beranjak dewasa, menyadari bahwa masih banyak hal-hal yang jauh lebih penting daripada keeksisan di dunia pergaulan yang cenderung hedon itu. Kita semua belajar bahwa menjudge orang dari apa yang terlihat dari luar, apa yang bisa mereka beli dan apa yang mereka tidak miliki adalah kurang bijaksana.

So, being jealous with those cheerleader girls and trying to be like one of them was just one of our stupidity in our youth. Kalo diinget-inget lagi sih lucu, apalagi gw, denger cerita si ade sepupu gw ini. Cuma bisa senyum-senyum dikulum dan menggumam dalam hati, “Been there, done that.” Tau persis rasanya kayak apa dan tau persis akan kayak gimana nantinya.

Tapi boleh nggak sih gw jahat dikit dengan membangga-banggakan salah satu scene fave gw sama slh satu org-org eksis ini? Gw lagi jalan di pinggir jalan protokol di Jakarta dan ada seseorang menyapa gw. Gw bengong dan mencoba mengingat ingat namanya dia tapi lupa, gw cuma inget dia salah satu geng eksis jaman dulunya. Trus dia sebut namanya dan dia bilang, “Ih...jahat deh, lupa.” Trus gw senyum dan cuma bilang “Sorry. Jadi lo apa kabar sekarang?”

Well, what I actually wanted to say that time was: Sorry, I forgot you since you and your cheerleaders attribute weren’t important for me and my life, so how’s your life? Is it getting any better than my life?

Peace


Selasa, 07 September 2010

B 2317



Heyyyyyyy....

Gw di sini dengan kaki masih sedikit gemetar,kalau boleh lebay, karena baru saja berpikir bahwa gw akan mati ditabrak merci hitam mengkilat bernomor polisi B 2317 di depan bunderan HI. Yayaya, gw nggak bisa melakukan banyak hal saat itu. Cuma memandangi isi mobil itu yang kalo gw nggak salah berisi tiga orang laki-laki berbadan tambun yang balik memandangi kita dengan pandangan mengejek.

Ironis memang.

Anak muda jaman sekarang mungkin menganggap hampir menabrak orang merupakan suatu perbuatan yang keren, bahwa mengetes ke pakem an rem mobil mewah hadiah dari orangtua dengan hampir menabrakannya ke orang yang sedang menyebrang merupakan hal yg berani, memandangi pejalan kaki dan menganggap bahwa mereka adalah orang yang pantas untuk direndahkan KARENA MEREKA BERJALAN KAKI DAN MENGGUNAKAN TRANSPORTASI PUBLIK merupakan hal yang menegaskan bahwa posisi mereka diatas angin...wow...kalo gitu caranya sih gw nggak mau dibilang anak muda yah.

Ok, cukup tentang hal itu. Disini gw nggak mau membahas tentang isu-isu yang cenderung personal kayak gitu. Gw mau mengajak elo semua lebih melihat ke arah umum dan kondisi transportasi kita saat ini.

Gw baru aja balik dari Singapur bulan lalu.
Nggak mau sombong karena toh gw nggak bangga-bangga amat pergi ke tempat itu. Bukan karena udah banyak orang yang berlibur ke tempat itu, cuma karena gw sebenarnya lebih memilih pergi ke tempat macam Bali untuk yang kesekian kalinya untuk menghabiskan liburan gw yg singkat ketimbang ke negara lain yang penuh dengan toko-toko branded macam negara itu.

Tapi jelas, secara gw selalu berusaha untuk mengambil nilai positif dan pelajaran dari tiap kejadian yang ada, gw mengamati beberapa hal. Kayak apa sih Singapur buat gw? Negara kecil super biasa. Jauh lebih gede Indonesia, percaya deh. Apa kelebihannya? Changi lebih bagus dari Soekarno-Hatta --denger-denger dari salah seorang teman bule, uang yang dihabiskan buat bikin 2 airport itu sama loh jumlahnya, cuma kok iya jauh lebih bagus Changi ya, haha--, Singapur somehow lebih banyak tempat bersihnya ketimbang Indo, dannnnn...yang paling menarik perhatian gw, di sana gw sebagai pejalan kaki merasa sangat dihargai.

Itu poin paling penting buat gw.

Darimana gw ngambil kesimpulan itu. Ini memang terkesan agak acak dan sekilas, tapi dari jalan-jalan kota yang gw liat, trotoar disana jarang putus. Disana ada juga aktivitas bangun-bangun mal atau apapun itu yang biasanya melibatkan debu-debu dan alat konstruksi berat tapi trotoarnya tetep ada, convenient, nyambung ga putus. Kalo mau jalan tuh enak kayaknya, trotoarnya bagus ga ada bolong-bolong, nggak ada motor yang naek di atas trotoar...

Beda dengan disini.

Lo pernah jalan kaki nggak dari halte departemen kesehatan Kuningan situ ke Mal Ambassador? Gw hampir tiap hari senin-kamis begitu. Dan lo tau apa yang gw temui? Motor naek ke atas trotoar--dengan alasan, kalo muter jauh atau jalanan macet banget--, trotoar yang sungguh tidak convenient karena kepake tumpukan pasir atau semen di depan beberapa daerah konstruksi bangunan, trotoar yang bolong-bolong nggak tau kenapa balok-balok itu diangkat jadi pejalan kaki harus super ati-ati supaya nggak nyemplungin kaki nya ke dalam got, dan...pedagang kaki lima yang jelas-jelas mendirikan bangunan tidak permanen yang akhirnya memaksa pejalan kaki harus berjuang turun trotoar dan berantem-berantem sama motor buat lewat.

Itu baru tentang trotoar.

Ada lagi tentang pejalan kaki yang menyebrang jalan. Tau fungsi zebra cross? Itu dibikin khusus buat pejalan kaki supaya hak-hak menyebrangnya terlindungi. Di Singapur gw seringkali menyebrang zebra cross dan kendaraan-kendaraan bermotor itu udah berhenti dari jauh-jauh sebelum kita melangkahkan kaki menginjak garis-garis putih itu. Mereka mempersilahkan kita lewat terlebih dahulu. Disini? Lo pernah nggak ngerasain rasanya hampir ditabrak motor yang ngebut nyalip mobil padahal jalanan lagi macet? Dan waktu itu lo ada di dalam naungan zebra cross! Gw nggak tau ya, mungkin para kendaraan bermotor itu nggak tau kalo pejalan kaki yang ditabrak saat sedang menyebrang di zebra cross dapat menuntut pihak-pihak yang menabrak itu dengan posisi hukum yang sangat kuat--isnt it, dear my legal friends?

See???

Those two simple things itu udah cukup bisa buka mata lo nggak sekarang kenapa orang sibuk bertekad untuk membeli kendaraan bermotor sendiri??? Kalo jalan kaki sudah bukan merupakan hal yang nyaman buat seseorang, kenapa mesti heran kalo tu orang nggak mau jalan kaki lagi????

Maaf-maaf kata, hal ini baru seiprit dari penyebab kemacetan Jakarta. Lo tau kenapa Jakarta macet udah lebih heboh dari waktu Michael Jackson meninggal? Karenaaaa...kuantitas kendaraan bermotor di sini tuh tambah tambah banyak. Kenapa kuantitas nya tambah banyak? Karena hampir setiap orang berpikir untuk menggunakan kendaraan bermotor pribadi setiap harinya. Kenapa mereka berpikir begitu? THAT'S THE QUESTION yang jawabannya udah jelas-jelas ada di depan mata.

Kalo gw punya wewenang buat merombak sistem yang udah ada dan gw jelas melihat isu pejalan kaki ini adalah sebuah masalah, gw nggak bakal pura-pura nggak tau dan kipas-kipas nungguin kesempatan korupsi.

Aduh aduh bapak-bapak ibu-ibu, masa mesti gw juga sih yang jadi gubernur Jakarta?

Senin, 16 Agustus 2010

Rasa memiliki

Hi.

Baru aja baca tulisan tentang masalah dengan negeri tetangga. Kecil-kecilan sih tapi sering terjadi. Kecil-kecilan sih tapi tetep bikin emosi. Kecil-kecilan sih tapi ini menyangkut harga diri. Rasanya gemes banget liat yang seseorang yang di atas masih kalem aja menyikapi ini.

Ya gw tau semuanya harus disikapi dengan kepala dingin. Tapi berkepala dingin bukan berarti diem aja kan kalo sesuatu yang kita miliki diganggu sama pihak lain? Bukannya itu bagian dari rasa memiliki ya?

Contoh, gw punya ade. Gw sayang banget sama dia. Suatu hari gw jalan sama ade gw itu. Terus dia di gangguin sama orang lain, bisa gw kenal bisa nggak gw kenal tapi yg pasti ade gw itu merasa nggak nyaman sama gangguan itu. Apa yang bakal gw lakuin? Diem aja mengatas namakan kepala dingin atau melakukan sesuatu?

Melakukan sesuatu disini bukan berarti dan selalu berarti melakukan sesuatu yang sifatnya anarkis dan emosional. Kalo gw sampe nyamperin tu orang buat nonjok atau melakukan hal apapun yang kurang lebih kayak gitu berarti gw anarkis dan malah meyakinkan semua orang bahwa gw nggak jauh beda kadar ke-gengges-annya sama orang yang gangguin itu. Inget,sikap anarkis hanya menunjukkan seberapa cetek tingkat pendidikan kita.

Gw bisa aja samperin tu orang dan tanya with all my respect,apa maksudnya dia kayak gituin ade gw. Kalo dia tanya siapa gw,ya gw kakaknya ade gw, dan tanya balik, siapa dia merasa berhak ngeganggu orang sampe bikin orang nggak nyaman? Nggak mempan, panggil pihak yang berkepentingan misalnya: sekuriti. Gimana kalo dia nonjok duluan sebelum sekuriti dateng? Tonjok balik.

Gw nggak nonjok duluan kalo dia nggak nonjok. Gw nonjok karena dia nonjok duluan. I just give him the thing tht he already gave me.Not less.Not more.

Gw nggak mau ngajarin prinsip tonjok-tonjokan disini. Gw cuma pingin kasih liat bahwa itu hal paling alami yang bisa gw lakukan untuk melindungi seseorang ataupun sesuatu yang gw sayang. Gw bisa dipastikan melakukan sesuatu untuk itu, nggak bakal cuma diem aja. Karena gw punya rasa memiliki akan apa yang udah tu orang ganggu.

Dont u get the meaning?

Dalam kasus persoalan dengan negeri tetangga ini, gw melihat bahwa si dia yang ada di atas itu kurang greget. Cukup sudah kepala-kepala dingin kita selama ini. Well, at least ambil sikap yang menyatakan "SAYA TIDAK SUKA ANDA MENGGANGGU TERITORI SAYA". Cukup itu. Jadi si pihak yang mengganggu ini sadar bahwa sikapnya itu udah mengganggu orang (kalo memang mereka nggak sadar--yang mana sungguh kecil kemungkinannya). Atau, si pihak pengganggu ini kapok ganggu orang. Ingat, dengan sikap yang mencerminkan bahwa kita well educated people, bukan tindakan anarkis. Kalo didiemin atas nama KEPALA DINGIN ya bakal terus begitu sih menurut gw. Wong dia nggak dapet konsekuensinya juga kok.

Sama kisahnya kayak cewek yang suka digodain. Kalo pacar si cewek belom bersikap, si cewek bakal terus diganggu dan lebih parah lagi mungkin ujungnya diperkosa. Amit-amit. Diperkosa tuh apa sih? Berhubungan sama sesuatu yang sifatnya pemaksaan dan pihak yang dipaksa tidak bisa berbuat apa-apa selain teriak.

Mau berujung kayak gitu karena KEPALA lo TERLALU DINGIN?

Senin, 09 Agustus 2010

Mapan=gadget baru

Hi.

Tadi sore baru aja membahas sebuah topik seru sama salah satu temen nyampah gw lewat telpon. Wacana ini dimulai ketika gw meluncurkan pertanyaan: "Nek,menurut lo gw penting nggak beli BB?" Lalu kita berdua terdiam. HP gw yang sekarang gw pake ini asli pewe abis. Bentuk slim (kayak yang punya *wee :P*), bisa MP3 sampe ratusan, bisa telepon&SMS (ya iyalah), bisa poto-poto dengan kualitas gambar yg tetep ok walau cahaya kurang memadai (sumprit, I ph*ne kalah bagus), bisa internetan juga..yang kurang cuma pin nya aja. :D

Kalo dipikir-pikir lagi...sungguh,gw nggak butuh-butuh banget a thing called BB itu. Tapi jaman sekarang orang kalo nanya bukan nanya no telpon lagi tapi PIN. Trus kalo misalnya kaga punya BB, udah bisa ditebak kata-kata yang akan meluncur adalah: "Ari gini ga punya BB?"
Tinggallah gw yang mengernyitkan alis dan sok keheranan: "Emang kenapa?".

Dan yang lebih mengenaskannya lagi...salah satu temen saya yang mengklaim dirinya materi oriented (bahasa alusnya matre), pernah curhat tentang seorang cowok gebetannya. Dan karena gw tau dia materi oriented, gw straight to the point dong: "Emang lo udah tau dia semapan apa?", dia jawab apa coba?: "HP nya sih BB yang paling baru itu..."

Dang!
Sejak kapan tingkat kemapanan hidup seseorang dapat diukur dari gadget apa yang dipakainya?

Disaat...sms-sms mengenai KTA kita terima hampir setiap hari di handphone kita semua. Jangankan KTA begitu, kartu kredit mana juga ada yang menyediakan fasilitas pencicilan gadget macam apapaun. Gw nggak akan pernah tau kalo gara-gara cicil BB dia makan pake nasi ama garem doang tiap arinya, atau kadang-kadang cuma ngandelin mie instan yang disediain kantor buat makan siang. Apa itu yang disebut kemapanan???

Buat gw sih, kalo emang mau liat orang dari tingkat kemapanannya, gw bakal korek-korek tuh...dia ada invest duit dimana aja, udah punya rumah sendiri belom, tiap ari makan dimana...total aset secara keseluruhan lah. Perkara hp nya yang ukuran nya masih segede-gede telpon wireless rumah sih laen cerita. Lo pernah nggak sih ketemu orang naek motor debu-debuan,panas-panasan, ujan-ujanan tiap ari ke kantor, dan hp nya yang cuma bisa dipake telpon ama sms an aja tapi lagi cicil rumah sendiri, invest dimana-mana,dan gajinya 4 kali lipat orang yang pake gadget bagus? Gw pernah. Nah kalo gw, menilai seseorang mapan atau nggak dari gadget yang dipakainya, mau dikemanain nih orang yang gw kenal ini???

Kalo gw pikir sih, everyone is different (again). Ada yang mengalokasikan uangnya ke gadget, ada yang ke investasi jangka panjang, ada yang buat makan enak, ada yang buat begowl, dan lain-lain. Jadi sungguhlah cetek aka shallow kalo sampe seseorang terjebak dalam sebuah paradigma bahwa orang yg pake gadget canggih itu mapan.

Gw sih nggak mau ikut-ikutan masuk ke jebakan ala jaman globalisasi dan super kapitalis ini ya. Bukan apa-apa, kecewa belakangan. When I thought that someone was super rich but then I found that he just act as a superrich person (Well, eventhough rich or not isnt the most important for me), it will really make me disappointed and feel ashame of myself. Am I that shallow??? Im not. U?

Hi!

Hi semua.

Gw disini, udah nggak tahan pingin berbagi isi kepala gw yang kalo ga disalurin kayak begini bisa bikin gw gila lama-lama. Kalo isi kepala gw diibaratkan deretan lemari-lemari super simple, pikiran-pikiran tentang isu sosial, umum, dan beberapa hal yang bagi banyak orang nggak penting ini udah bejubel dan hampir bikin lemari pikiran gw meledak. Dan gw tau ini saatnya gw berbagi. Berbagi kan nggak mesti duit aja, lagian juga, gw nggak setuju tuh ama yang suka bagi-bagi duit. Bagi-bagi tuh kerjaan dong, keahlian, ilmu, jadi kapan gw lagi bokek gw ga bakal datengin si orang yang suka bagi-bagi duit itu lagi buat minta duit tapi gw bakal usaha cari duit sendiri dengan kemampuan yan gw punya. Hm, itu mungkin salah satu isu yang bakal gw bagi dalam blog gw ini.

Btw, gw suka John Mayer, dan banyak lagu-lagunya. Gw juga suka banget sih sama salah satu lagunya yang berjudul "Waiting on the world to change". But hey, dont u ever think that Im gonna waiting on the world to change darlin! Im gonna be one of the people who will change this world. Im tired of complaining. Im tired of acting as if I didnt care. Because deep down inside, I truly care about this world. Lo boleh sebut gw naif, munafik, sok bersifat sosial, sebut aja semuanya. But this is me. Yang walaupun idup nya sendiri masih susah, dengan begonya masih aja mau nyusahin diri sendiri dengan mikirin dunia dan isinya.

Gw pernah diludahin orang gila sekali. Pernah juga dikejar sama orang gila beberapa kali. Pernah diliatin 'itunya' orang gila sekali. Cukup banyak pengalaman gw sama orang-orang gila jalanan, mungkin itu yang bikin gw rada gila sekarang. Haha. Orang gila nulis kadang asal nulis, nggak pake ayakan. Jadi sebelum menulis banyak hal gw mau minta maap dulu lahir&batin buat berbagai pihak yang nggak setuju dengan apa yang gw pikirkan ini. I dont like debating. I avoid conflict. This is just my thought, and I just wanna share it. If u dont agree, then go ahead. Everyperson is different, babe. And really, again, Im just trying to be the real me. Gila, tapi tetep happy.

Enjoy!


Regard,


Erith