Rabu, 15 September 2010

Artis ibukota dan kembang desa


Sunday, September 12nd 2010

Just helped my grandma cooking this morning.

Petik-petikin daun pakis gitu buat bikin sayur daun pakis. Kata tante, petikin daun-daun dan batang mudanya. Gw, pegang tiap batang pakis itu dengan raut muka jijay dan metik-metikiin satu-satu daunnya. Dan tanpa di duga tanpa di nyana, adalah seekor ulat cukup gede berwarna merah di antara daun-daun itu. Aw...gw spontan melempar batang pakis itu dengan tampang shock. Damn it, it was so damn scary. Tapi yang bikin gw lebih shock lagi, si tante gw itu dengan santainya pegang batang pakis yang lain sambil metikin semua daunnya secara massal tanpa takut-takut ada ulet dan kawan-kawannya.

Dan gw tertegun.

Sumprit, dudukin gw didepan komputer dengan sederet angka-angka yang harus gw susun ataupun analisis, oh I’ll enjoy that kind of things. Tapi dudukin gw di dapur petik-petikin daun pakis gitu dengan resiko tangan gw kepegang ulet??? That was a nightmare.

Dari kisah ini gw mulai mencari kesimpulan. Suatu saat gw sangat berapi-api manas-manasin sodara-sodara gw untuk datang ke Jakarta dan menjadi seseorang di kota. “Heyyy...come to Jakarta first, and your mind will be open wide.” Idup lo nggak bakal berakhir menjadi seorang ibu rumah tanga saja yang menghabiskan hampir seluruh waktunya untuk mengurus anak-anak,rumah, dan menunggu suami pulang dannn...menengadahkan tangan setiap bulannya menerima sebagian uang dari penghasilan suami. Ya lo memang wanita, tapi wanita juga berhak mendapatkan penghasilan sendiri, membagi waktu antara mengurus anak, rumah, suami, dan mengurus karirnya sendiri.

Trus sekarang gw kayak yang...ok...masing-masing orang punya pilihan hidupnya masing-masing.

Mungkin gw, disini, yang lahir di kota cukup besar bernama Jakarta dan dibesarkan disini sampai sekarang berpikir bahwa menjadi wanita dengan karir yang cukup bagus, materi yang mudah-mudahan berlimpah, dan keluarga yang baik merupakan impian gw seumur idup gw.

Tapi ada disatu sisi lain dunia ini, wanita-wanita yang berpikir bahwa staying at home all day dan menghabiskan waktu sepenuhnya untuk mengurus rumah dan keluarga merupakan impiannya.

Nggak ada yang salah dari kedua mimpi itu. Itu cuma pilihan hidup seseorang yang dipengaruhi oleh cara mereka dibesarkan dan cara pandang orang tua dan lingkungan mereka yang akhirnya mempengaruhi impian mereka masing-masing.

Gw disini sebagai wanita kota aka artis ibukota dalam artikel ini sadar bahwa gw nggak berhak menjustifikasi para wanita koneventional aka kembang desa merupakan kumpulan wanita powerless yang super lemah dan tidak bisa memperjuangkan hak mereka sendiri. Its just the matter of opinion, again I told you.

Satu yang masih gw yakinin, bahwa wanita ternyata memang kuat. No matter mereka artis ibukota atau kembang desa, tetap aja, mereka harus survive dengan seluruh keterbatasan yang mereka miliki.

So here I am, proudly tell you guys, that I think I’m getting wiser than before. Thanks God akan aktivitas pulang kampung gw ini. Hihii

Open-houser, open your mind!

Saturday, September 11st 2010

Baru aja nonton berita di tipi nih. Denger-denger ada yang mati gara-gara ngantri ikutan open house yg di adakan salah satu orang penting di negeri ini. Ya sedikit berbeda dengan yang biasa-biasanya, mati gara-gara bagi duit cash. Tapi apa bedanya sih secara semua orang juga tau open house means getting something from the owner of the house we visited.

Intinya sih, gw NGGAK PERNAH SETUJU SAMA YANG NAMANYA BAGI BAGI DUIT. Bantuan langsung tunai? Hahahahahahahaha...boleh gw panjangin nggak haha nya gw ini sampe akhir tulisan ini. I know thats silly, as silly as bantuan langsung tunai toh?

Gw cinta negeri ini, gw sungguh peduli dan prihatin sama mereka-mereka yang setiap hari pusing harus makan apa hari itu. Tapi menurut gw, bantuan langsung tunai bukanlah solusi dari semua ini. Kasarnya, sekarang gw kasih mereka duit buat makan. Trus abis deh buat makan hari ini. Besok gimana? Besok mereka akan kembali pusing mikirin kudu makan apa atau bahkan mereka akan balik lagi ke gw minta duit lagi. Trus gw dapet duit gw itu darimana? Dari kerja. dari peres otak, dari ngegunain skill gw. Trus mreka dapet duit mreka darimana? Dari ongkang-ongkang kaki dan dateng ke gw.

Kurang silly apalagi itu coba.

Mari kita berpikir lebih tenang, lebih dari sekedar mendapatkan suara menjelang pemilu. Gimana kalau kita:

Buka Lapangan Pekerjaan

Mereka dapet duit dari sesuatu yang mereka usahakan. Contoh simple, salah satu temen gw si bule Inggris yang baru saja menetap di Indonesia selama sekitar 8 bulan ngomong-ngomong tentang proyek banjir kanal timur dan barat di Jakarta. Dia bilang dia liat kali itu udah mulai kotor, udah mulai kumuh. Sayang banget. Gimana kalau pemerintah coba untuk mempekerjakan orang sekitar situ untuk membersihkan kali itu dan sekitarnya secara rutin. Kali bersih, warga dapet kerjaan. Kali bersih, warga dapet makan. Case close. Dan gw pikir, ide bagus. Kenapa enggak? Kenapa enggak bapak-bapak ibu-ibu???

Pembinaan skill dan pendidikan

Gimana kalau kita kasih mereka modal.Kursusin mereka jahit, kursusin mereka masak, kirim anak-anak mereka sekolah, galang orang tua asuh. Coba kita liat efeknya nanti. Mereka bisa jait, mereka bisa buka usaha vermak levis. Mereka bisa masak, mereka bisa kerja di resto-resto dan kalo udah ada modal, mereka bisa buka warung makan sendiri. Mereka sekolah, mereka bisa kerja di perusahaan orang. Mereka dapet orangtua asuh, kuliah sampai keluar negri, mereka bisa jadi orang ebsar di perusahaan besar atau bahkan bisa buka perusahaan sendiri, dapet penghasilan yang besar dan mereka bisa bntu orang lain juga.

See?

Memberikan uang cash ataupun makanan atau apapun itu yang instan tapi sifatnya untuk jangka pendek, sungguh tidak mendidik. Itu memanjakan mereka. Memperlakukan orang dewasa berumur 30 tahun layaknya anak kecil berumur 10 tahun. Mereka sudah bisa mencari makan untuk mereka sendiri, tapi kita terus menyuapi mereka sampai akhirnya mereka percaya bahwa mereka sudah kehilangan kemampuan mereka untuk mencari makan sendiri.

Zona nyaman itu sungguh berbahaya, teman. Dan jika seperti ini terus keadaannya, mereka tidak akan sadar bahwa mereka sudah terlalu lama berada dalam zona nyaman. Kemampuan mereka berburu akan mati dengan sendirinya. Gigi mereka untuk menggigit perlahan akan tumpul. Ujungnya? Sampah masyarakat. Efeknya liat kan? Secara nggak langsung kita malah memperburuk situasi.

Huff.

Jadi kejadian korban saat event-event kayak open house ataupun bagi-bagi duit ini disiarkan lewat televisi internasional juga. Orang-orang luar, orang-orang negara maju sana melihat Indonesia. Wow. Mereka pikir, sebegitu parahnya negeri kita sampai harus mengorbankan nyawa untuk beberapa lembar uang atau beberapa box makanan. Mereka belum liat aja mal-mal yang ada di Jakarta. Megahnya lebih megah dari sekolahan negeri. Ironic.

Mari-mari, kita mulai membagikan bibit apelnya, ajari mereka cara menanam pohon apel, dan ajari mereka cara memelihara pohon itu hingga berbuah sampai mereka bisa menikmati buah apel hasil kerja keras mereka sendiri. Jangan terlalu seringlah memetikkan buah apel dari pohon apel yang sudah kita tanam sendiri. Berhentilah menjadi egois, mulailah berbagi ilmu untuk menjadikan mereka sama hebatnya seperti kita.

Cheers

Old School Existence

Saturday, September 11st 2010

Heyya.

Gw disini, di kampung kecil emak gw, mencoba menghibur diri dengan membuat beberapa tulisan. Gw baru aja ngobrol-ngobrol dikit sama sepupu gw yang masih duduk dibangku SMP. Dia cerita tentang gimana di sekolahnya ada geng cheerleaders yg terdiri dari cewek-cewek super eksis dengan contact lens berwarna warni dan gadget macam BB yang akhir-akhir ini dijadikan indikator oleh beberapa anak muda sebagai tanda bahwa mereka eksis di dunia pergaulannya.

Trus gw cuma tersenyum dikulum.

Jadi inget jaman dulu. Kalo mau ditanya di sekolah manapun, pasti ada tuh yang namanya geng cheers yang isinya cewek-cewek yang dibilang gaul gitu deh.Hihi. Everyguy dreamt about being their boyfriend. Biasanya kalo yang gini, ada pasangan versi cowoknya. Cowok-cowok bermobil ceper yang tantang tenteng rokok dengan baju sok-sok berantakan.

Huaaahhhh...

Well, I miss that moment.

Gw sih waktu itu cuma seorang cewek nerd yang bisa memandangi mereka dari jauh. Nyirikin geng-geng cewek dan lebih kacaunya lagi, gw kebiasaan demen ama salah satu anggota gengg cowoknya dimana...nggak mungkin banget si cowok itu demen gw balik. Hihi.

As the time passes by, gw beranjak dewasa dan sibuk sama kegiatan gw sendiri. Gw sibuk sama semua mimpi-mimpi gw dan planning-planning jangka pendek maupun jangka panjang gw. Gw bertemu dengan banyak orang, suka sama banyak orang, dan itu nggak melulu karena mereka di cap gaul atau karena sekedar mereka bawa mobil sedan super ceper yang bahkan kalo ngelindes bakiak depan mesjid bisa nyangkut bempernya.

Sampe akhirnya gw ketemu si cewek cowok super eksis di jamannya itu lagi.

All I could say to them was just “Hi.”

Mereka berubah, jadi biasa biasa aja di mata gw. Mungkin gw juga berubah, jadi jauh lebih keren di mata mereka.*LOL* The most important thing was I just dont care who they are. Gw happy sama diri gw, gw happy sama idup gw, dan mungkin mereka happy juga sama idup mereka...ya udah.

Kita semua beranjak dewasa, menyadari bahwa masih banyak hal-hal yang jauh lebih penting daripada keeksisan di dunia pergaulan yang cenderung hedon itu. Kita semua belajar bahwa menjudge orang dari apa yang terlihat dari luar, apa yang bisa mereka beli dan apa yang mereka tidak miliki adalah kurang bijaksana.

So, being jealous with those cheerleader girls and trying to be like one of them was just one of our stupidity in our youth. Kalo diinget-inget lagi sih lucu, apalagi gw, denger cerita si ade sepupu gw ini. Cuma bisa senyum-senyum dikulum dan menggumam dalam hati, “Been there, done that.” Tau persis rasanya kayak apa dan tau persis akan kayak gimana nantinya.

Tapi boleh nggak sih gw jahat dikit dengan membangga-banggakan salah satu scene fave gw sama slh satu org-org eksis ini? Gw lagi jalan di pinggir jalan protokol di Jakarta dan ada seseorang menyapa gw. Gw bengong dan mencoba mengingat ingat namanya dia tapi lupa, gw cuma inget dia salah satu geng eksis jaman dulunya. Trus dia sebut namanya dan dia bilang, “Ih...jahat deh, lupa.” Trus gw senyum dan cuma bilang “Sorry. Jadi lo apa kabar sekarang?”

Well, what I actually wanted to say that time was: Sorry, I forgot you since you and your cheerleaders attribute weren’t important for me and my life, so how’s your life? Is it getting any better than my life?

Peace


Selasa, 07 September 2010

B 2317



Heyyyyyyy....

Gw di sini dengan kaki masih sedikit gemetar,kalau boleh lebay, karena baru saja berpikir bahwa gw akan mati ditabrak merci hitam mengkilat bernomor polisi B 2317 di depan bunderan HI. Yayaya, gw nggak bisa melakukan banyak hal saat itu. Cuma memandangi isi mobil itu yang kalo gw nggak salah berisi tiga orang laki-laki berbadan tambun yang balik memandangi kita dengan pandangan mengejek.

Ironis memang.

Anak muda jaman sekarang mungkin menganggap hampir menabrak orang merupakan suatu perbuatan yang keren, bahwa mengetes ke pakem an rem mobil mewah hadiah dari orangtua dengan hampir menabrakannya ke orang yang sedang menyebrang merupakan hal yg berani, memandangi pejalan kaki dan menganggap bahwa mereka adalah orang yang pantas untuk direndahkan KARENA MEREKA BERJALAN KAKI DAN MENGGUNAKAN TRANSPORTASI PUBLIK merupakan hal yang menegaskan bahwa posisi mereka diatas angin...wow...kalo gitu caranya sih gw nggak mau dibilang anak muda yah.

Ok, cukup tentang hal itu. Disini gw nggak mau membahas tentang isu-isu yang cenderung personal kayak gitu. Gw mau mengajak elo semua lebih melihat ke arah umum dan kondisi transportasi kita saat ini.

Gw baru aja balik dari Singapur bulan lalu.
Nggak mau sombong karena toh gw nggak bangga-bangga amat pergi ke tempat itu. Bukan karena udah banyak orang yang berlibur ke tempat itu, cuma karena gw sebenarnya lebih memilih pergi ke tempat macam Bali untuk yang kesekian kalinya untuk menghabiskan liburan gw yg singkat ketimbang ke negara lain yang penuh dengan toko-toko branded macam negara itu.

Tapi jelas, secara gw selalu berusaha untuk mengambil nilai positif dan pelajaran dari tiap kejadian yang ada, gw mengamati beberapa hal. Kayak apa sih Singapur buat gw? Negara kecil super biasa. Jauh lebih gede Indonesia, percaya deh. Apa kelebihannya? Changi lebih bagus dari Soekarno-Hatta --denger-denger dari salah seorang teman bule, uang yang dihabiskan buat bikin 2 airport itu sama loh jumlahnya, cuma kok iya jauh lebih bagus Changi ya, haha--, Singapur somehow lebih banyak tempat bersihnya ketimbang Indo, dannnnn...yang paling menarik perhatian gw, di sana gw sebagai pejalan kaki merasa sangat dihargai.

Itu poin paling penting buat gw.

Darimana gw ngambil kesimpulan itu. Ini memang terkesan agak acak dan sekilas, tapi dari jalan-jalan kota yang gw liat, trotoar disana jarang putus. Disana ada juga aktivitas bangun-bangun mal atau apapun itu yang biasanya melibatkan debu-debu dan alat konstruksi berat tapi trotoarnya tetep ada, convenient, nyambung ga putus. Kalo mau jalan tuh enak kayaknya, trotoarnya bagus ga ada bolong-bolong, nggak ada motor yang naek di atas trotoar...

Beda dengan disini.

Lo pernah jalan kaki nggak dari halte departemen kesehatan Kuningan situ ke Mal Ambassador? Gw hampir tiap hari senin-kamis begitu. Dan lo tau apa yang gw temui? Motor naek ke atas trotoar--dengan alasan, kalo muter jauh atau jalanan macet banget--, trotoar yang sungguh tidak convenient karena kepake tumpukan pasir atau semen di depan beberapa daerah konstruksi bangunan, trotoar yang bolong-bolong nggak tau kenapa balok-balok itu diangkat jadi pejalan kaki harus super ati-ati supaya nggak nyemplungin kaki nya ke dalam got, dan...pedagang kaki lima yang jelas-jelas mendirikan bangunan tidak permanen yang akhirnya memaksa pejalan kaki harus berjuang turun trotoar dan berantem-berantem sama motor buat lewat.

Itu baru tentang trotoar.

Ada lagi tentang pejalan kaki yang menyebrang jalan. Tau fungsi zebra cross? Itu dibikin khusus buat pejalan kaki supaya hak-hak menyebrangnya terlindungi. Di Singapur gw seringkali menyebrang zebra cross dan kendaraan-kendaraan bermotor itu udah berhenti dari jauh-jauh sebelum kita melangkahkan kaki menginjak garis-garis putih itu. Mereka mempersilahkan kita lewat terlebih dahulu. Disini? Lo pernah nggak ngerasain rasanya hampir ditabrak motor yang ngebut nyalip mobil padahal jalanan lagi macet? Dan waktu itu lo ada di dalam naungan zebra cross! Gw nggak tau ya, mungkin para kendaraan bermotor itu nggak tau kalo pejalan kaki yang ditabrak saat sedang menyebrang di zebra cross dapat menuntut pihak-pihak yang menabrak itu dengan posisi hukum yang sangat kuat--isnt it, dear my legal friends?

See???

Those two simple things itu udah cukup bisa buka mata lo nggak sekarang kenapa orang sibuk bertekad untuk membeli kendaraan bermotor sendiri??? Kalo jalan kaki sudah bukan merupakan hal yang nyaman buat seseorang, kenapa mesti heran kalo tu orang nggak mau jalan kaki lagi????

Maaf-maaf kata, hal ini baru seiprit dari penyebab kemacetan Jakarta. Lo tau kenapa Jakarta macet udah lebih heboh dari waktu Michael Jackson meninggal? Karenaaaa...kuantitas kendaraan bermotor di sini tuh tambah tambah banyak. Kenapa kuantitas nya tambah banyak? Karena hampir setiap orang berpikir untuk menggunakan kendaraan bermotor pribadi setiap harinya. Kenapa mereka berpikir begitu? THAT'S THE QUESTION yang jawabannya udah jelas-jelas ada di depan mata.

Kalo gw punya wewenang buat merombak sistem yang udah ada dan gw jelas melihat isu pejalan kaki ini adalah sebuah masalah, gw nggak bakal pura-pura nggak tau dan kipas-kipas nungguin kesempatan korupsi.

Aduh aduh bapak-bapak ibu-ibu, masa mesti gw juga sih yang jadi gubernur Jakarta?